[Review] Ally – All These Lives

on Senin, 25 Mei 2015


Judul : Ally – All These Lives
Nama Penulis : Arleen A
Editor : Dini Novita Sari
Desain Sampul : Iwan Mangopang
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tanggal Terbit : 2014
Edisi : Cetakan Pertama
Jumlah hal.: 264 halaman
ISBN : 978-602-03-0884-5
Rating : 4 dari 5 bintang

“Kau bisa bayangkan orang seperti ini akan hidup dari koper. Untuk apa ia membereskan bajunya ke dalam lemari? Ia tidak akan pernah punya kesempatan untuk berakar di suatu tempat. Setiap kali ia mulai menganggap sebuah tempat sebagai rumah, ia bisa saja harus pindah lagi. Jika kau berada di posisi seperti ini, apakah kau akan menanam bunga atau pohon di kebun belakangmu? Apakah kau masih akan ada di sana ketika bunganya mekar atau buahnya matang?” –hlm. 49

Alison Lancaster tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan mengalami hal istimewa sepanjang hidupnya. Ia tidak pernah tahu sampai ketika umurnya 10 tahun, ia mengamai Saat Ketidakberadaan itu untuk pertama kalinya. Sensasi menggelitik bagai kesemutan ditangan atau kakinya adalah tanda bahwa Saat Ketidakberadaan-nya itu muncul. Lalu dengan cepat semuanya akan menghilang, apapun yang ada disekitarnya akan menghilang. Bahkan saat itu ia tidak tahu apakah ia sedang duduk, tidur ataupun berdiri. Hal itu terjadi dalam sepersekian detik. Awalnya ia merasa itu hal biasa. Namun Saat Ketidakberadaan itu malah menghadirkan orang-orang yang tidak ia kenal dalam hidupnya dan menghilangkan orang-orang yang ia kenal dalam hidupnya, ia tahu bahwa hidupnya akan lebih rumit dari yang ia bayangkan.

Alison Lancaster juga tidak pernah menyangka bahwa ada kehidupan yang lain yang ditempati Ally-Ally yang lain pula. Kerap kali Saat Ketidakberadaan menelannya, ia mendapati dirinya ditempatkan dalam kehidupan Ally yang lain. Yang bukan miliknya, namun seolah miliknya. Ia berusaha menyesuaikan diri dengan keadaannya, namun perasaan lelah selalu saja meliputinya. Terkadang ia merasa bahwa dirinya adalah seorang asing yang sedang berpura-pura menjadi bagian dari sebuah keluarga dikehidupan barunya, seorang asing yang sedang menyamar menjadi anak perempuan di keluarga itu.

Lalu, siapkah dirimu berpetualang dengan kehidupan Ally yang tidak biasa ini?

“Apakah hati manusia bisa dibayangkan seperti sebuah lemari buku dengan banyak rak dan bilik-bilik di dalamnya? Beberapa orang mungkin lebih beruntung karena memiliki hati atau lemari yang besar dengan banyak rak dan bilik-bilik di dalamnya? Lalu bagaimana bila hati seseorang terlalu kecil? Apakah didalamnya hanya ada satu bilik yang ditempati oleh dirinya sendiri?” –hlm. 67

Awal saya membaca buku ini adalah saat saya menjadi Fist Chapters Commentator bab 1 dan 2 dari novel ini. Saat itulah saya tahu bahwa novel ini akan memberikan warna baru di tahun 2015.

Novel ini menyajikan cerita yang berbeda. Tentang parallel universe dan teori dunia banyak. Bahwa tidak hanya Ally saja yang hidup di kehidupannya yang ini, namun ada banyak lagi Ally-Ally yang lain yang hidup di kehidupan yang lain. Dan disinilah, ia bisa bertukar tempat dengan Ally yang lain meskipun ia tidak ingin. Karena Saat Ketidakberadaan itu selalu datang tiba-tiba tanpa ada yang bisa mencegahnya.

Ya, penulis semacam menyajikan potongan puzzle-puzzle dalam cerita yang tidak mudah ditebak. Dan kita hanya bisa melihat gambaran akhirnya kalau sudah sampai halaman terakhir. Berkali-kalipun saya memaksakan diri untuk menebak seperti 'kejadian apa sih yang sebenarnya menimpa Ally saat keberadaannya telah mengambil semua darinya?' 'Kenapa ia tidak bisa mengingat waktu yang hanya beberapa detik menelannya itu dan merubah semuanya?' Ya, pikiran semacam itu masih berkelebat di dalam pikiran saya.

Meskipun sedetik, rupanya waktu mampu mengubah segalanya ya.

Awal bab yang sudah diisi dengan kejutan manis oleh penulisnya itu membuat saya tidak bosan untuk melanjutkan ke bab selanjutnya. Dan di bab kedua, lagi-lagi penulis membuat kejutan. Menurut saya, isi ceritanya langsung to the point dan saya suka. Maksudnya awal bab sudah di gambarkan point dari ceritanya, yaitu ketika Ally sama sekali tidak mengingat kejadian beberapa tahun sebelumnya ketika ketidakberadaan menelannya. Konflik-konfliknya juga sudah terasa di bab-bab awal.

Alurnya terlalu cepat, namun tidak terkesan mendadak atau dipaksakan. Semuanya runtut dan terasa memang porsi yang seharusnya memang dibuat seperti itu. Agak sebal juga sih ketika saya masih menikmati hidup Ally yang ini, tiba-tiba penulis sudah menyajikan konflik yang baru dan menempatkan Ally di kehidupan yang lain.

Setiap kali membalikkan halaman demi halaman saya selalu diliputi perasaan khawatir, gelisah sekaligus deg-degan, berharap penulis tidak menyajikan kejutan manis baru dalam cerita ini. Entah kenapa saya merasa seperti Ally yang selalu diliputi perasaan takut dengan kemungkinan-kemungkinan kapan Saat Ketidakberadaan itu datang.

Ketika akhirnya Saat Ketidakberadaan itu merenggut orang-orang yang dicintainya, hati saya rasanya juga remuk redam. Ahh…penulis ternyata sudah mampu memporak-porandakan emosi saya. It’s Great!

Saya suka pemilihan gaya bahasa yang enak dibaca dan dimengerti. Ringan dan tidak berat. Namun saya tahu model bahasanya lebih condong ke barat / seperti novel terjemahan meskipun tidak terlalu kentara.

Riset yang dilakukan penulis tentang teori dunia banyak yang dikemukakan pertama kali oleh Hugh Everett III (1930-1982) dan beberapa latar tempat seperti Kulanthpitha dan Cluck U juga patut diacungi jempol.

Untuk covernya. Awalnya aneh menurut saya. Tapi begitu selesai membaca novel ini, saya tahu kalau covernya sudah mewakili isi dari novelnya sendiri. Mungkin (ini hanya menurut saya) gambar 3 spot yang berbeda itu menggambarkan saat Ally mengalami Saat Ketidakberadaan-nya tadi.

Dari sederet hal yang menarik, poin-poin yang paling bisa saya petik dari “Ally—All These Lives” pastinya ada pada permainan sifat penokohannya, latarnya yang luar biasa menginspirasi dan ide dari ceritanya sendiri : sebuah peristiwa yang absurd yang sulit diuraikan dengan logika.


0 komentar:

Posting Komentar