[Review] A Love at First Sight

on Jumat, 15 Mei 2015


Judul : A Love at First Sight
Nama Penulis : Jennifer E. Smith
Penerjemah : Linda Boentaram
Penyunting : Prisca Primasari
Proofreader : Emi Kusmiati
Desainer Sampul : Aditya Satyagraha
Penerbit : Qanita
Tanggal Terbit : November 2012
Edisi : Cetakan Kedua
ISBN : 978-602-9225-56-3
Rating : 3,5 dari 5 bintang

“Orang-orang yang bertemu di bandara lebih mungkin jatuh cinta dengan persentase tujuh puluh dua persen, daripada bertemu di tempat lain.” -hlm. 315

Menakjubkan. Ya..satu kata itu cukup menggambarkan isi dari novel ini bagi saya. A Love at First Sight mengingatkan kita bahwa cinta pada pandangan pertama itu benar-benar ada. Tidak percaya? Kalau begitu, coba simak kisah cinta antara Hadley dan Oliver ini.

Hadley tidak menyangka bahwa ia akan ketinggalan pesawatnya yang menuju London—negara tempat ayahnya akan menikah lagi.  Seumur hidupnya ia tidak pernah ketinggalan pesawat. Sekali pun tidak. Tapi hari itu, ia terlambat empat menit. Kalau dipikir-pikir, selisihnya tidak terlalu besar. Dan empat menit tidak ada artinya. Terang saja itu menjadi mimpi buruk baginya. Kesialan yang datang tanpa ia inginkan. Siapa sangka empat menit bisa mengubah segalanya?

Bagi Hadley yang fobia terhadap ruang sempit, bandara tak ubahnya sebagai kamar penyiksaan. Impitan orang-orang, gerak kabur dan perputarannya, dengung suara yang naik turun dan memusingkan, hiruk-pikuk dan keributan adalah salah satu dari banyak hal yang dibenci Hadley.
Namun, siapa sangka, ketinggalannya itu malah membuatnya bertemu dengan cowok keren bernama Oliver. Seseorang yang tinggi kurus, dengan rambut berantakan dan mata hijau menakjubkan dan noda muster di dagu yang sanggup membuat jantung Hadley meloncat bak kelinci gila.

“Apakah mungkin kita tidak pernah tahu seperti apa tipe kita—bahkan tidak tahu kita punya tipe—sampai akhirnya kita mengetahuinya dengan tiba-tiba?” -hlm. 45

Diawali dengan bantuan membawa koper, berlanjut dengan makan di sebuah deli di dalam bandara. Lalu tempat duduk mereka yang tak sengaja bersebelahan. Obrolan tentang hobi, makanan, serta binatang favorit sampai menjurus ke pembicaraan tentang keluarga masing-masing.

Hampir setengah dari halaman novel ini menceritakan akan perjalanan Hadley dan Oliver di dalam pesawat. Obrolan tak penting yang terus saja berlanjut tanpa ada ujungnya. Meskipun sesekali salah satu dari mereka tertidur lalu terbangun secara tak sengaja. Alur yang digunakan adalah maju mundur. Tapi meskipun begitu tak terasa membingungkan apalagi membosankan. Karena sepanjang perjalanan di dalam pesawat itu terkadang diselingi flashback akan masa lalu Hadley dengan ayahnya. Ya…dengan ayah yang akan menikah lagi dengan wanita yang bahkan belum pernah ditemui oleh Hadley.

“Kita berbagi sandaran tangan dengan seseorang beberapa jam. Kita bertukar cerita tentang kehidupan kita, satu atau dua anekdot lucu, mungkin bahkan lelucon. Kita berkomentar tentang cuaca dan makanan yang tidak enak. Kita mendengarkan orang itu mendengkur. Lalu, kita mengucapkan selamat jalan.” -hlm. 133

Dan setidaknya memang itulah yang akan dilakukan Hadley saat pesawat yang membawanya dari Amerika akhirnya mendarat di London. Tentang perpisahannya dengan Oliver.

Suasana perjalanan dalam pesawat dan suasana saat pesta pernikahan digambarkan dengan jelas. Sehingga, saya benar-benar bisa merasakan suasana yang diangkat penulis. Yang sekali lagi tidak membuat saya bosan.

“Orang-orang yang bertemu pada setidaknya tiga kesempatan berbeda dalam rentang dua puluh empat jam, sembilan puluh delapan persen berpeluang untuk bertemu kembali.” -hlm. 316

Namun saya merasa konfliknya kurang tajam. Apalagi banyak scene yang terkesan flat. Adegan saat di pesawat dan acara pernikahan memang dijelaskan secara gamblang namun efek-nya terkesan mendetail dan sedikit membosankan.

Dan begitulah adanya, saya jatuh cinta pada pandangan pertama dengan novel ini. Novel yang dikemas dengan manis, hangat dan menyentuh. Good job.

0 komentar:

Posting Komentar