[Review] The Wind Leading To Love

on Kamis, 07 Mei 2015


Judul : The Wind Lending To Love
Nama Penulis : Ibuki Yuki
Penerjemah : Sofi Lestari
Penyunting : Arumdyah Tyasayu
Asisten Penyunting : Eni Puji Astuti
Proofreader : Dini Novita Sari
Cover dan ilustrasi isi : Bambang ‘Bambi’ Gunawan
Penerbit : Haru
Tanggal Terbit : Februari 2015
Edisi : Cetakan Pertama
ISBN : 978-602-7742-47-5
Rating : 2,5 dari 5 bintang

“Musik memang bagus. Siapa pun bisa menyendiri di dalamnya hanya dengan menambah volume suara. Tak ada yang perlu dipikirkan. Tak ada juga yang perlu dirasakan. Yang perlu dilakukan hanyalah memasrahkan tubuh pada alunan lagu.” –hlm. 18

Suga Tetsuji, laki-laki berumur 39 tahun yang menyukai musik klasik tak pernha menyangka bahwa dirinya akan kembali berhubungan dengan Fukui Kimiko. Perempuan yang ia bantu saat perempuan itu butuh tumpangan. Awalnya ia merasa enggan, apalagi ketika tahu bahwa wanita itu cerewet. Namun karena suatu kali perempuan itu menyelamatkannya nyawanya saat ia tenggelam, ia mulai menerima kehadiran Kimiko.

Tetsuji pergi ke Miwashi dan tinggal di Rumah Semenanjung milik almarhum ibunya untuk menenangkan dirinya. Juga bermaksud untuk menjual Rumah Semenanjung yang banyak menyimpan kenangan indah ibunya tersebut. Suatu kali, Kimiko menawarkan bantuan kepada Tetsuji untuk membantu membersihkan rumah agar layak dijual. Sebagai imbalannya, ia meminta Tetsuji untuk mengajari dirinya akan musik klasik. Dunia yang disukai anaknya. Awalnya Tetsuji menolak, namun kemudian ia berubah pikiran dan menerima tawaran tersebut. Kimiko sendiri adalah seorang pegawai di sebuah Kantin di kota Miwa. Sejak suami dan anaknya meninggal ia pindah ke Miwa dan bekerja sebagai pelayan kantin tersebut.

“Sudah dua minggu ini ia memiliki rutinitas baru: makan malam di Miwa saat sebelum tutup dan mengantar Kimiko pulang sampai setengah jalan. Ada juga rutinitas lain yang tercipta: kegiatan di rumahnya dimulai sekitar pukul 9 pagi; setelah hari mulai siang, Tetsuji berendam di kamar  mandi yang ada di lantai satu; lalu ia tidur siang dan terbangun oleh aroma masakan yang dibuat Kimiko saat waktu menunjukkan pukul tiga sore.” –hlm. 152

Hubungan antara Kimiko dan Tetsuji tak disangka semakin dekat. Terlebih karena Kimiko selalu datang kerumahnya setiap jam 9 pagi. Membersihkan rumah dan halaman, lalu memasakkan makanan untuknya, bahkan membantu Tetsuji menghilangkan insomnia yang diderita laki-laki itu dan membantu melupakan segala permasalahan Tetsuji di Tokyo. Namun memang, tidak ada perjalanan yang terus mulus. Ketika akhirnya istri Tetsuji berkunjung ke Miwashi secara mendadak, ia mengetahui bahwa ada hubungan yang lebih antara Tetsuji dan Kimiko.

***
Saat membaca novel ini saya merasa tidak membaca novel dewasa, namun lebih ke dewasa muda. Umur Tetsuji yang digambarkan berumur 39 tahun, entah kenapa saya membayangkannya malah berumur 29 tahun. Entahlah…saya tidak mengerti kenapa saya bisa berpikir seperti itu. Aneh memang. Dan kalau dipikir-pikir novel ini memiliki unsur perselingkungan ya.

Ada fakta unik yang saya dapati di novel ini. Bahwa tokoh Kimiko sering sekali tertawa. Saking seringnya saya sampai menghitung berapa kali tokoh wanita itu tertawa, dan hasilnya sungguh mengejutkan. 55 kali. Lagipula menurut saya pribadi tokoh Kimiko yang cerewet malah terkesan lebih ke ceria dan perhatian.

Jujur saja, saya tidak bisa merasakan emosi atau konflik yang dihadirkan penulis. Saya pribadi merasa ceritanya cenderung flat dan biasa saja. Itu yang membuat saya kecewa dengan buku ini. Buku ini lebih menjelaskan kehidupan Suga Tetsuji di Miwashi dengan kehadiran Fukui Kimiko dan selebihnya tidak ada yang istimewa. Suatu kali penulis menghadirkan konflik saat Rika—istri Tetsuji bertemu dengan Kimiko dan bisa dipastikan terjadi adu mulut, namun konflik itupun tidak terlalu tajam sebagaimana harusnya.

Covernya sangat meriah. Ya…meriah dengan segala macam gambar yang ada. Saya memang suka dengan cover yang menggambarkan isi dari cerita didalamnya. Begitu juga cover novel ini yang dihiasi gambar kota miwa, rumah semenanjung, tembok pemecah ombak, bunga-bunga, timun suri, dan juga piringan hitam musik klasik, yang menggambarkan keseluruhan dari cerita.

Terlepas dari itu semua, saya suka ketika ada penulis yang mengangkat topik tambahan. Seperti novel ini misalnya, yang mengangkat topik tambahan tentang musik klasik. Saya juga merasakan hal yang sama saat mendengarkan musik klasik. Saya tidak bisa meresapi apapun meski sudah saya dengarkan berulang kali. Malah cenderung bosan. Saya sampai menyimpulkan mungkin saya bukan penikmat musik klasik. Seperti saat mendengarkan Fur Elise milik Beethovan versi piano ataupun Simphony no.29 milik Mozart versi biola. Rupanya teknik yang saya gunakan salah. Memang butuh kesabaran yang panjang untuk bisa menikmati musik klasik. Seperti halnya Tetsuji. Dan hal pertama yang terpikirkan oleh saya saat menutup buku ini adalah mencari koleksi musik klasik yang sudah lama tak saya sentuh dan mulai menghafalkan semua bagian dari lagu itu.

1 komentar:

  1. Kesan saya pas selesai novel ini juga sama, cenderung biasa saja. Mungkin, karena tokohnya terlalu tua saya rasa ^^ Jadi, romance-nya tak terlalu mengena di hati seperti tokoh2 remaja.

    Isu perselingkuhan pun, jelas salah satu pemicu konflik antara Kimiko, Tetsuji, dan Rika. Itu pun juga menurutku biasa saja, toh kisah seperti itu di dunia nyata memang banyak.

    Adapun hal menjadi daya tarik novel ini buatku, yaitu : daftar koleksi dari Ibunya Tetsuji, bahkan aku sempat search google daftar lagu yang disebutkan pada novel tersebut.

    Meskipun biasa, tapi tetap menarik untuk dibaca ^^

    BalasHapus